Sabtu, 01 Mei 2010

Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran

Pengantar:
Materi Pembelajaran di bawah ini merupakan hasil dari In-Service Training Bagi KKG/MGMP Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur di Surabaya. Kegiatan In-Service Training itu sendiri merupakan serangkaian tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara Kepala LPMP Jawa Timur dengan ketua KKG/MGMP yang menerima dana Block Grant. Kegiatan itu sendiri tepatnya dilaksanakan pada Senin, 19 April 2010 sampai Kamis, 22 April 2010. Utusan dari MGMP Geografi SMA Negeri Kabupaten Malang adalah Drs. Ibnu Harsoyo, guru Geografi SMA Negeri 1 Pagak. Uraian selengkapnya sebagai berikut:

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN

Pendekatan kontekstual merupakan “pendekatan yang dapat membantu guru untuk mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari” (Nurhadi, dkk., 2003). Karena itu, siswa tidak hanya sekadar ‘dijejali’ dengan pengetahuan abstrak, namun siswa benar-benar mencari, mengalami, dan menemukan sendiri pengetahuan dan menerapkan keterampilan tersebut dalam kegiatan nyata. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mempunyai karakteristik. Nurhadi (2003) menyebutkan sejumlah karakteristik tersebut adalah:

(1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, tidak membosankan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa kritis guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dll., (11) laporan kepada orang tua siswa bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, (12) karangan siswa, dll.

Sebelumnya dalam Depdiknas (2002) juga disebutkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dapat dilakukan seperti berikut ini.

(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. (3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. (4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dengan kelompok-kelompok). (5) Hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran. (6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan. (7) Lakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara.

Pendekatan kontekstual mempunyai tujuh komponen. Ketujuh komponen dalam pendekatan kontekstual tersebut dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Ketujuh komponen dalam pendekatan kontekstual tersebut adalah: (1) Constructivisme, (2) inquiry, (3) Questioning, (4) Learning Community, (5) Modelling, (6) Reflecting, dan (7) Authentic Assessment (Nurhadi, dkk., 2003) . Berikut ini satu-persatu diuraikan ketujuh komponen tersebut.

1) Constructivisme

Konstruktivisme adalah “salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) dari kita sendiri” (Von Glaserfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glaserfeld menegaskan bahwa “pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)”. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. “Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membantuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan” (Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. “Proses pembentukan pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru” (Piaget, 1971).

Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme: (1) konstruktivisme radikal, (2) realisme hipotesis, dan (3) konstruktivisme yang bisaa. Bagi konstruktivisme radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang (Von Glasersfeld, 1992). Menurut Von Glasersfeld, Piaget termasuk konstruktivis radikal (Bettencourt, 1989). Konstruktivisme radikal berpandangan bahwa tidak ada konstruksi sosial (pengetahuan itu dikonstruksi bersama), karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.

Menurut realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat realitas (Munevar, 1981 dalam Bettencourt, 1989). Menurut Munevar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.

Selanjutnya, aliran konstruktivisme yang bisaa tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.

Matthews (1994) membedakan antara konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Konstruktivisme psikologis bertitik tolak dari perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosial lebih mendasarkan pada masyarakat yang membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri. Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat bahasa (Matthews, 1994). Cobern (1991) menyatakan bahwa konstruktivisme bersifat kontekstual. Pelajar selalu membentuk pengetahuan mereka dalam situasi dan konteks yang khusus.

Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial (Berger dan Luckmann, 1967). Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain.

Hubungan konstruktivisme dengan teori belajar yang lain, misalnya dengan teori belajar Ausubel. Menurut Ausubel, Novak, dan Hanesia (1978) ada dua jenis belajar, yakni: (1) belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi apabila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Hal ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar.

Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada dalam struktur kognitif seseorang, informasi yang baru harus dipelajari lewat belajar menghafal. Dalam proses ini informasi yang baru tidak diasosiasikan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah ia ketahui (Ausubel dkk. 1968; Novak, 1977).

Jadi, bagi konstruktivisme kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka (Betterncourt, 1989; Shymansky, 1992; Watts & Pope, 1989). Menurut konstruktivisme, pelajar sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah diketahui, serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.

Bagi konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda. Pelajar harus mempunyai pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar – yang berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu memperbarui tingkat pemikiran yang tidak lengkap (Fosnot, 1989).

Mengajar menurut konstruktivis bukanlah suatu kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Betterncourt, 1989). Dalam hal ini, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.

Sebagai mediator dan fasilitator, guru mempunyai beberapa tugas sebagai berikut. (1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. (2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watts & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. (3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Agar peran tersebut optimal, guru sebagai pengajar harus menyadari dan mengerjakan hal-hal berikut ini. (1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan. (2) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat. (3) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar. (4) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar. (5) Guru perlu memiliki pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.

2) Inquiry

Di samping kegiatan pembelajaran secara konstruktivis, dalam proses pembelajaran, siswa juga melakukan inquiry. Inquiry merupakan proses belajar melalui mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori, baik secara perorangan maupun kelompok, sehingga dengan cara ini siswa terbisaa untuk mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis (Depdiknas, 2002).

Dalam kegiatan ini ada beberapa kegiatan yang dilakukan pembelajar. Kegiatan tersebut adalah: (1) mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori baik perorangan maupun kelompok, (2) kegiatan yang diawali dengan pengamatan dan berkembang untuk memahami konsep/fenomena, dan (3) mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis.

Inquiry merupakan strategi belajar yang dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Kegiatan inquiry sebenarnya merupakan sebuah siklus. Siklus itu terdiri dari beberapa langkah, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2) mengumpulkan data melalui informasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audince yang lain. Nurhadi, dkk. (2003:44) menyebutkan bahwa “siklus inquiry sebenarnya adalah: (1) observasi (observation), (2) bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaan (hiphothesis), (4) pengumpulan data (data gathering), dan (5) penyimpulan (Conclusion)”.

3) Questioning

Dalam kegiatan pembelajaran tersebut juga terjadi kegiatan bertanya (Questioning). Dalam Depdiknas (2002) disebutkan bahwa fungsi questioning ini antara lain berikut ini. (a) Mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu. (b) Mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi. (c) Menilai kemampuan sistem berpikir kritis. (d) Melatih siswa untuk berpikir kritis.

Lebih lanjut Nurhadi, dkk. (2003:46) menyebutkan ada beberapa kegunaan kegiatan bertanya dalam sebuah pembelajaran yang produktif. Kegunaan kegiatan bertanya tersebut adalah berikut ini.

(1) menggali informasi (baik administratif maupun akademis), (2) mengecek pemahaman siswa, (3) memecahkan persoalan yang dihadapi, (4) membangkitkan respon kepada siswa, (5) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, (6) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (7) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang akan dipelajari, (8) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan (9) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Selain itu juga disebutkan ada beberapa jenis konteks yang dapat digunakan guru untuk menerapkan teknik bertanya dalam kelas. Menurut Nurhadi, dkk. (2003) jenis konteks untuk bertanya itu adalah berikut ini.

(1) bertanya adalah suatu cara untuk “masuk dan terlibat” dalam hal sesuatu dan sebagai alat untuk memulai dan mempertahankan interaksi dengan orang lain, (2) bertanya digunakan secara aktif oleh siswa untuk mendapatkan informasi dan dapat dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan informasi (kebutuhan untuk mengetahui), (3) bertanya digunakan secara aktif oleh siswa untuk mengklarifikasi atau meyakinkan informasi, dan (4) bertanya digunakan siswa secara aktif untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan.

Orlich, et. al. (1980:193) dalam Nurhadi, dkk. (2003:46) mengajukan daftar singkat tentang pentingnya teknik bertanya dalam pembelajaran, sebagai berikut. (1) Bertanya merupakan strategi mengajar yang umum dan dapat diterapkan dalam pembelajaran apa saja. (2) Penggunaan dan pengembangan teknik bertanya yang sistematis cenderung memperbaiki kualitas siswa dalam hal belajar. (3) Dengan mengklasifikasi pertanyaan menurut suatu sistem tertentu, guru dapat menentukan tingkatan kognitif dan afektif yang harus dimiliki siswa dan dilakukan secara profesional dalam proses belajar. (4) Melalui teknik bertanya yang sistematis, guru dapat menentukan tingkat awal kemampuan siswa untuk bidang-bidang konten pelajaran tertentu. (5) Ada berbagai jenis pilihan pertanyaan yang terbuka bagi guru untuk diajukan kepada siswa. (6) Strategi bertanya yang digunakan guru dapat diterapkan untuk semua situasi pengajaran.

Lebih lanjut Nurhadi, dkk. (2003:46) menyebutkan ada beberapa kegunaan kegiatan bertanya dalam sebuah pembelajaran yang produktif. Kegunaan kegiatan bertanya tersebut adalah sebagai berikut.

(1) menggali informasi (baik administratif maupun akademis), (2) mengecek pemahaman siswa, (3) memecahkan persoalan yang dihadapi, (4) membangkitkan respon kepada siswa, (5) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, (6) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (7) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang akan dipelajari, (8) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan (9) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

4) Learning Community

Selanjutnya kegiatan pembelajaran dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Kegiatan kelompok (Learning Community) dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain kegiatan berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain dan bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri (Depdiknas, 2002). Dalam kegiatan secara kelompok (learning community) jelas terjadi kegiatan cooperative learning. Cooperative Learning merupakan suatu kegiatan belajar mengajar secara kelompok untuk menciptakan pengalaman belajar siswa semaksimal-maksimalnya, baik pengalaman belajar individu maupun kelompok.

Pada dasarnya, learning community atau masyarakat belajar mengandung arti sebagai berikut.

(1) Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman. (2) Ada kerja sama untuk memecahkan masalah. (3) Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik daripada kerja secara individual. (4) Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama. (5) Upaya membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan. (6) Menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar dengan anak lainnya. (7) Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antara anggota kelompok untuk saling memberi dan menerima. (8) Ada fasilitator/guru yang memandu proses belajar dalam kelompok. (9) Harus ada komunikasi dua arah atau multiarah. (10) Ada kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik. (11) Ada kesediaan untuk menghargai pendapat orang lain. (12) Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja. (13) Dominasi siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa juga berperan. (14) Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung arti learning community (Nurhadi, dkk., 2002).

Penerapan learning community dalam kelas misalnya dapat dikaitkan dengan teknik jigsaw (dalam cooperative learning). Praktik dalam kegiatan pembelajaran terwujud dalam: (1) bekerja dalam pasangan, (2) pembentukan kelompok kecil, (3) pembentukan kelompok besar, (4) mendatangkan ahli ke kelas, (5) bekerja dengan kelas sederajad, (6) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, (7) bekerja dengan sekolah di atasnya, dan (8) bekerja dengan masyarakat.

5) Modeling

Proses dan hasil pembelajaran dipresentasikan dalam pemodelan (modeling). Modeling merupakan kegiatan membahasakan gagasan yang dipikirkan, dengan cara mendemonstrasikan dan melakukan sesuatu sesuai dengan gagasan yang ada (Nurhadi, dkk., 2003). Modeling ini dapat dilakukan di awal, tengah, atau pun akhir kegiatan pembelajaran. Modeling dapat dilakukan oleh siswa, guru, atau pun narasumber lain. Selain itu, modeling juga dapat dari sumber lain, misalnya media cetak atau elektronika (Depdiknas, 2002).

6) Reflecting

Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini dapat diakhiri dengan reflecting. Melalui kegiatan ini, siswa diajak untuk berpikir tentang apa yang telah dipelajari, menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas, dan pengalaman, mencatat tentang apa yang telah dipelajari, dan bagaimana suatu ide baru dapat dirasakan (Depdiknas, 2002).

Jadi, refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan kegiatan untuk menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas, dan pengalaman yang baru diterima. Refleksi dapat dilakukan di akhir kegiatan pembelajaran. Realisasinya berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa yang telah diperoleh hari itu, (2) catatan atau jurnal di buku siswa, (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi, (5) hasil karya, dan (6) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.

7) Authentic Assessment

Dalam pendekatan kontekstual ini menggunakan penilaian authentic assessment. Authentic Assessment merupakan penilaian yang bahannya diambil dari konteks kehidupan nyata siswa. Melalui penilaian ini guru dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. Dalam pelaksanaannya, penilaian ini mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau pengalaman. Dalam penilaian ini, yang dinilai adalah produk dan/atau kinerja, tugas-tugas yang kontekstual dan berkaitan, sehingga proses dan produk semuanya dapat diukur (Depdiknas, 2002).

Authentic Assessment adalah prosedur penilaian dalam pembelajaran kontekstual. Nurhadi, dkk. (2003:52) menyebutkan beberapa prinsip dan ciri-ciri penilaian autentik. Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut.

(1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk. (2) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. (3) Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber. (4) Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian. (5) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari. (6) Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas).

Selanjutnya disebutkan pula bahwa Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Gambaran itu berfungsi untuk memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Karena itu, assessment tidak hanya dilakukan di akhir periode pembelajaran, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Jadi, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan hanya pada hasil.

Berdasarkan keterangan tersebut, ada beberapa karakteristik authentic assessment. Nurhadi, dkk. (2003:53) menyebutkan karakteristik authentic assessment tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. (2) Bisa digunakan untuk formatif dan sumatif. (3) Hal yang diukur adalah keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta. (4) Dilaksanakan secara berkesinambungan. (5) Terintegrasi. (6) Dapat digunakan sebagai feed back.

Selanjutnya, hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain berikut ini.

(1) proyek/kegiatan dan laporannya, (2) hasil tes tulis, (3) portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun), (4) pekerjaan rumah, (5) kuis, (6) karya siswa, (7) presentasi atau penampilan siswa, (8) demonstrasi, (9) laporan, (10) jurnal, (11) karya tulis, (12) kelompok diskusi, dan (13) wawancara (Nurhadi, dkk., 2003:53).

Selain penerapan authentic assessment, portofolio juga diterapkan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini. Portofolio merupakan Kumpulan hasil karya siswa, baik dalam bentuk tertulis, karya seni, maupun berbagai penampilan. Portofolio ini bisa merupakan dokumen tertulis atau yang tersimpan dalam bentuk kaset video atau audio. Portofolio ini menunjukkan atau memperlihatkan hasil pemikiran, minat, hasil usaha, tujuan, atau cita-cita siswa dalam berbagai bidang.

DAFTAR PUSTAKA

Ausubel, D. P., Novak, J. D., & Hanesian, H. 1978. Educational Psychology: A Cognitive View (2nd ed.). New York: Werbel & Peck.

Berger, P. & Luckmann, T. 1967. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Doubleday & Company.

Bettencourt, A. 1989. What is Constructivism and Why Are They All Talking about it? Michigan: State University.

Cobern, W. 1991 “Contextual Constructivism: The Impact of Culture on the Learning aand Teaching of Science”. Paper presented at The Annual Meeting of the National Association for Research in Science Teaching. Lake Geneva, WI, April 7-10.

Departeman Pendidikan Nasional. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas.

Matthews, M. 1994. Science Teaching. New York: Routledge.

Nurhadi., Yasin, Burhanuddin., dan Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Piaget, J. 1971. Psychology and Epistemologi. New York: The Viking Press.

Von Glasersfeld, E. 1992. Questions and Answers about Radical Constructivism. In M. Pearsall (Ed.), Relevant Research, Scope, Sequence, aand Coordinaation of Secondary School Science. (Vol. II. 169-182). Washington DC: NSTA.

Watts & Pope. 1989. “Thinking about Thinking, Learning about Learning: Constructivism in Physics Education”. Physics Education, 24:326-331.

TUGAS:

  1. Berkelompoklah sesuai dengan mata pelajaran yang Anda ampu.
  2. Pilihlah salah satu KD mata pelajaran Anda!
  3. Susunlah skenario kegiatan yang menggambarkan CTL berdasarkan KD tersebut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar